PRAWACANA
Pada akhir dasawarsa 1990-an,
salah satu jurnal terkemuka di Amerika, Foreign Affairs, mengatakan bahwa
korupsi telah menjadi way of life di Indonesia. Korupsi sudah menjadi cara atau
jalan hidup bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. International
Transparency, pada tahun 1997, dalam laporannya menempatkan Indonesia sebagai
negara paling korup di dunia setelah Rusia dan Kolombia. Audit yang lumayan
baru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan bahwa prevalensi
kebocoran dari semakin tinggi, meningkat dua belas kali lipat. Pada tahun
1998/1999, tingkat kebocoran hanya 4 persen, akan tetapi pada tahun anggaran
1999/2000 angka itu melonjak menjadi 46 persen. Dari nilai anggaran yang
diperiksa BPK sebesar 455,6 trilyun rupiah, tingkat kebocoran mencapai 209
trilyun rupiah.
Selain itu audit BPK juga
membuktikan bahwa negara dirugikan senilai 138,44 trilyun rupiah atau sekitar
96 persen dari nilai kredit likuiditas Bank Indonesia (BI) senilai 144,53
trilyun rupiah. Padahal kredit likuiditas ini semula dirancang untuk mengatasi
masalah kesulitan likuiditas 48 bank komersial.
Mantan Menteri Keuangan Bambang
Sudibyo juga pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 1991/1992 jumlah pendapatan
kena pajak yang tidak dilaporkan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak
senilai 27,7 trilyun rupiah. Pada tahun fiskal 1999/2000 angka itu menjadi 170
trilyun rupiah. Selama dekade 90-an, dari seluruh jumlah pendapatan kena pajak
yang tidak dilaporkan senilai 714,5 trilyun, artinya negara dirugikan 130, 86
trilyun rupiah.
Tidak hanya itu, akhir-akhir ini
diberitakan di berbagai media bahwa, para angota DPRD di banyak kota kabupaten
di Indonesia, banyak yang dimeja hijaukan, karena terlibat penyalahgunaan dana
APBD (APBD gate).
Dari berbagai pernyataan,
laporan, berita dan fakta di atas, semuanya mengindikasikan adanya persoalan
yang amat serius di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi bahaya laten
korupsi. Sayangnya, meski dari berbagai temuan dan studi terbukti bahwa
prevalensi di Indonesia tergolong paling tinggi, akan tetapi langkah-langkah
yang mengarah pada upaya investigasi, advokasi dan pemberdayaan serta
pendidikan masyarakat dalam memberantas wabah korupsi masih jarang dilakukan.
Sejumlah studi, laporan, ataupun
tulisan mengenai tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai
perspektif dan sudut pandang. Namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan
dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan
antara lain: Pertama, studi-studi yang selama ini dilakukan oleh kalangan
akademis ke arah deskripsi dan analisis semata, bukan pada kritik dan
keberpihakan terhadap masyarakat yang dirugikan oleh prilaku korupsi. Kedua,
data yang diperlukan sering tidak tersedia, karena pihak yang diduga terlibat
korupsi selalu berdalih dengan berbagai cara untuk menyembunyikan dan
memanipulasi data. Sementara pemerintah cenderung enggan memberi izin
penelitian dan advokasi untuk isu-isu korupsi. Ketiga, sebagai konsekwensinya,
upaya-upaya investigasi, advokasi dan pendidikan serta pemberdayaan lebih
banyak menggunakan pendekatan normatif, jauh dari pemihakan terhadap rakyat
dengan berbagai langkah-langkah strategisnya. Keempat, lebih-lebih pada masa
Orde Baru, para peneliti dan aktifis beresiko tinggi kehilangan hak sipil, atau
bahkan ancaman kekerasan fisik ketika melakukan studi dan advokasi tentang
korupsi. Karena dianggap ancaman bagi pihak-pihak tertentu.
Saat ini Indonesia sedang
mengalami masa transisi menuju masyarakat demokratis dan beradab, yang membuka
kesempatan luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun iklim kehidupan
bernegara dan berbangsa yang lebih baik dan terbebas dari korupsi. Inilah momen
yang tepat untuk mengembangkan kajian, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat
dalam pemberantasan budaya KKN. Tulisan ini adalah yang bisa dilakukan penulis
dalam upaya pendidikan pemberantasan korupsi di tengah masyarakat. Ini adalah
langkah yang mungkin tidak akan berarti dalam pemberantasan korupsi, tetapi
paling tidak sebagai wacana yang semoga saja bermanfaat di kemudian hari.
KONSTRUK WACANA KORUPSI
Pada Dataran Budaya
Dalam praktek pelayanan publik
sehari-hari, batas antara hadiah atau pemberian yang ikhlas dan suap sangatlah
tipis. Ini bisa dilihat manakala warga masyarakat ingin menyelesaikan satu
urusan birokrasi dengan instansi pemerintah yang bertugas melayani publik,
seakan-akan sudah lumrah bila rasa terimakasih perlu dan celakanya harus
disampaikan dalam bentuk uang. Suap atau bentuk terimakasihkah kebesiaan
seperti ini? Bukan tidak mungkin, warga masyarakat sengaja memberi uang dengan
maksud kelak dikemudian hari bila berurusan dengan birokrasi tidak lagi
mengalami kesulitan. Artinya, ia harus ikhlas dan terbiasa melakukan praktek
suap. Tetapi celakanya, Sang Birokrat memandangnya sebagai pembrian ikhlas dan
tidak tidak terkait dengan jabatannya. Bukankah di sini ada perbedaan presepsi
atas pemberian uang itu.
Praktek-praktek seperti ini
berlangsung terus dalam hidup keseharian kita dan diterima begitu saja sebagai
seseuatu yang tak terbantahkan. Mulai dari praktek percaloan di terminal,
pelabuhan atau setasiun kereta api hingga urusan izin usaha, perpanjangan SIM,
KTP, atau meluluskan anak masuk sebuah sekolah yang dianggap pavorit, dan
lain-lain. Praktek yang bernuansa suap-menyuap tampaknya sudah dianggap wajar
dan bahkan ada yang menganggap sebagai keharusan.
Memang, dalam budaya yang memberi
peluang bagi tumbuhnya praktek korupsi, wacana korupsi pun dikonstruksi menjadi
bukan korupsi, melainkan dianggap sebagai kebaikan hati. Itulah sebabnya ada
yang menyebut korupsi sudah “memasyarakat”, bahkan sejad dahulu Bung Hatta
telah menyebutnya “membudaya”. Kalau sudah memasyarakat dan membudaya, maka
bisa berarti sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan. Tiada hari tanpa
praktek korupsi dalam segala bentuk dan tingkatannya. Kalau kemudian Indonesia
menjadi negara papan atas dalam korupsi--seperti peringkat yang dilaporkan oleh
Transparency International--tidaklah terlalu mengherankan. Tetapi bangsa ini
tentu saja tidak akan terima bila negerinya dicap berpemerintahan para maling
(kleptokrasi).
Bukan hanya itu, perbendaharaan
kata dalam bahasa Indonesia juga banyak mengoleksi ungkapan dan kata untuk
menyebut nama lain dari praktek korupsi. Mulai dari uang semir, penyalahgunaan
jabatan, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan uang negara, komersialisasi
jabatan, poltik uang, suap, uang pelicin, uang administrasi, komisi proyek,
dana taktis, TST (tahu sama tahu), manipulasi, pungli, dana bina lingkungan,
mark up anggaran, amplop dan uang rokok. Belum lagi idiom-idiom yang
menunjukkan terjadinya korupsi, misalnya tarif jalan tol, untuk mereka yang
ingin mendapatkan layanan cepat dari birokrasi. Uang lelah, untuk pemberian
kepada birokrat tingkat bawah yang membantu mengurus adminitrasi pelayanan
publik. Hadiah ala kadarnya dan ucapan terima kasih, untuk pejabat publik yang
dipandang berjasa membantu suatu urusan yang sebenarnya memang menjadi
tanggungjawabnya. Masih banyak lagi perbendaharaan dan idiom dalam bahasa
Indonesia--juga sebenarnya bahasa daerah--yang menunjukkan kuat berakarnya
korupsi dalam budaya kita.
Kalau kita mencermati tulisan
para ahli, maka korupsi bukan hanya beragam dalam jenis dan sebutan sinonimnya,
tetapi juga beragam dalam defenisi asalnya. Secara umum, korupsi sering
dipandang sebagai segala macam tindakan yang menyalahgunakan wewenang atau
sumber poltik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ada pula di antara
penulis yang memperluas cakupan pengertian tersebut, mengingat tindakan dan
praktek korupsi, berlangsung juga diberbagai sektor kehidupan. Karena itu,
korupsi disebutnya sebagai “tidak hanya meliputi transaksi antara sekyor badan
publik (pejabat) dan swasta (perusahan atau anggota masyarakat) tetapi juga
antara sektor swasta dan sektor pemerintah.” Definisi ini menunjukan betapa
korupsi sudah “memasyarakat”. Seperti wabah yang terus menjalar pada semua
sektor kehidupan.
Lebih jauh Gunnar Mydral dengan
tegas menyatakan bahwa, mereka yang memungkinkan terjadinya korupsi disebut
juga koruptor. Dengan begitu korupsi bukan cuma dilakukan pejabat publik atau
petinggi swasta, tetapi rakyat kebanyakan juga memungkinkan terjadinya korupsi.
Islam, dalam kitab sucinya, mengatakan dengan tegas bahwa, baik yang menyuap
(al-râsyi) dan yang disuap (al-murtâsyi), keduanya bersalah, dan karenanya
masuk neraka.
Pada Dataran Birokrasi
Birokrasi memang tidak terlepas
dari prosedur. Namun manakala prosedur tidak jelas dan banyak meja yang harus
dilewati demi tegaknya prosedur, maka prosedur itu justru memberi peluang bagi
terjadinya praktek korupsi. Prosedur birokrasi yang mestinya merupakan
pengetahuan publik sengaja disamarkan. Akibatnya publik seperti masuk
belantara, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa mengikuti
prosedur yang baku.
Bila pun prosedur diketahui
publik, maka biasanya tetap tersedia pilihan “jalur biasa” atau “jalur tol”. Jalur
tol berarti publik mesti membayar biaya besar. Namun dengan senang hati publik
tidak jarang bersedia membayar melebihi tarif itu, dengan dalih “dari pada
diperulit”, “dari pada membuang-buang waktu” atau “dari pada tidak diproses”.
Publik atau masyarakat mendapatkan kemudahan urusan birokrasi dari jabatan
publik. Dan pejabat publik pun diuntungkan karena mendapat sejumlah uang.
Karena saling menguntungkan maka
dianggap tidak ada yang dirugikan. Sementara korupsi dikonstruksi sebagai
praktek yang merugikan. Kalau tidak ada yang dirugikan mengapa pula disebut
korupsi? Ini adalah logika yang menyebabkan kian mewabahnya korupsi. Memang
ketika transaksi terjadi antara dua pihak, warga masyarakat dan pejabat publik,
tidak ada yang merasa dirugikan. Tetapi jika ditarik lebih jauh pada konteks
yang lebih luas, dampaknya sangat menadasar. Sebut saja misalnya, lahirnya
ekonomi biaya tinggi (high cost economy), karena pelaku usaha pasti
memperhitungkan dana yang disiapkan untuk dikorup akan dibebankan juga pada konsumen.
Akibatnya, nilai jual produk Indonesia menajdi lebih mahal dibandingkan dengan
produk serupa dari negeri lain. Maka terjadilah inefisiensi yang akan
menurunkan daya kompetitif produk Indonesia, menurunkan kemampuan perusahaan
memberi gaji yang lebih layak bagi karyawannya, dan yang paling membahayakan
juga dapat menghancurkan moral bangsa.
Olle Tronquist, profesor masalah
politik dan pembangunan pada Univesitas Oslo dalam tulisannya “The Indonesian
Lesson” (1999) ia menyebutkan adanya gejala munculnya “hantu” yang disebutnya
sebagai “demokrasi kaum penjahat” (budguy democracy). Di mana demokrasi hanya
berlangsung secara formal dan bahkan cenderung seremonial. Ini terutama terjadi
pada masa Orde Baru, yang menjelma menjadi “negara serakah” (grady state), yang
menjadi panggung KKN dan mamsung pikiran rakyat.
Reformasi yang bergulir sejak
1998 di antaranya bertujuan mengubah praktek penyelenggaraan pemerintah ke arah
yang lebih baik dan berkualitas (good governance). Namun dalam kenyataanya,
hingga saat ini reformasi belum banyak membuahkan hasil. Praktek KKN tampak
belum lenyap, bahkan makin menjadi-jadi. Otonomi daerah yang idealnya ditujukan
untuk memberdayakan pemerintahan daerah dalam memperbaiki dan meningkatkan
pelayanan publik, pada prakteknya justru dipakai sebagai alat untuk
melanggengkan struktur pemerintahan yang birokratis itu. Selain itu juga,
dengan otonomi daerah, KKN dengan segala modus operandinya yang pada masa Orde
Baru terpusat di Ibu Kota, kini menyebar ke daerah-daerah. Otonomi daerah yang
semangat awalnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rmasyarakat daerah, pada
parktenya lebih banyak menguntungkan para penguasa dan wakil rakyat di daerah.
Sementara rakyat banyak tetap hidup dalam kesengsaraan.
PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BAGI
MASYARAKAT
Pentingnya Kontrol dan
Partisipasi Publik
Bila korupsi sudah sedemikian
menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan
masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah
besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan
masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan.
Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan
memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau
masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau
minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol
publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah
korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik
saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad
Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal.
Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.
Partisipasi publik sendiri merupakan
syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi
publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang
terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan.
Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol
publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat
tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi.
Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power
corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik
agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi
sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik
kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga
korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi
moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi
dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya
mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar
jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau
tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk
penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa
bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.
Pendidikan Anti-Korupsi (PAK)
Upaya mendidik, memberdayakan dan
membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas
merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena Warga masyarakay yang sadar
dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat
pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah
perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat.
Bagaimanakah
pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan
langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?
a. Kampanye Publik
Salah satu cara untuk melakukan
pendidikan anti-korupsi kepada masyarakat adalah kampanye publik secara
terencana dan sistematik. Kegiatan kampanye [ubl;ik yang terprogram baik
dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesdaran mengenai kerugian yang
ditimbulkan oleh korupsi terhadap masyarakat dan mengenai perlunya setiap warga
melakukan tindakan yang tepat bila mereka dihadapkan pada praktek korupsi.
Defenisi kampanye sendiri
bermacam-macam, tergantung pada tujuan umum atau spesifik yang diharapkan,
durasi yang dibutuhkan, efek yang diharapkan, unit analisis dan lokus manfaat
dari suatu kampanye, serta media komunikasi yang digunakan. Paisley (1981)
mencatat bahwa definisi kampanye menekankan baik pada (1) tujuan, maupun (2)
proses kampanye.
Menurut Atkin (1981), kampanye
informatif biasanya melibatkan seperangkat pesan bersifat promosi yang menarik
minat publik dan disebarkan melalui media-media massa. Karenanya kampanye
publik mesti menggunakan pesan-pesan yang dirancang sedemikian rupa melalui
berbagai saluran komunikasi yang mudah diakses dan cocok dengan target audiens.
Pesan kampanye juga harus mengkomunikasikan informasi spesifik, pemahaman, dan
perilaku yang bisa diakses dan diterma secara budaya.
Karena itu sebelum menggelar
kampanye anti-korupsi, penting juga memantau isu dan debat kebijakan sosial
yang sedang berkembang di masyarakat. Memahami lingkungan politik dan budaya
yang memberikan setting dalam agenda publik juga penting untuk memberikan
penekanan pada isu yang ditonjolkan dalam agenda kampanye. Para perancang kampanye
harus menyadari bahwa kegiatan kampanye yang dilakukan bukan semata-mata untuk
memberi informasi kepada masyarakat tentang korupsi dan bahayanya, melainkan
juga mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Bahkan kampanye juga harus
diarahkan untuk tujuan-tujuan yang lebih dari sekedar perubahan kognitif,
tetapi juga perubahan sikap dan perilaku terhadap korupsi.
Jika kampanye publik anti-korupsi
dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka akan diperoleh beberapa
manfaat, antara lain:
1. Tergalangnya opini publik
mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif.
2. Tergalang pula tuntunan dan
tekanan dari masyarakat mengenai perlunya upaya pemberantasankorupsi dalam
birokrasi.
3. Menguatnya partisipasi
masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi.
Dan karena kegiatan kampanye
publik anti-korupsi ini bersifat informatif, persuasif dan juga edukatif, tentu
saja pertimbangan-pertimbangan dalam menetukan media kampanye dan khalayak
sasaran yang dituju merupakan sesuatu sangat penting. Karena itulah kegiatan
kampanye anti-korupsi sebisa mungkin memanfaatkan segala bentuk media
komunikasi yang bisa dengan mudah diakses warga masyarakat. Tidak hanya media
massa dalam pengertian konvensiona, seperti koran, majalah, radio atau
televisi. Tetapi juga media yang lain, seperti sepanduk, stiker, selebaran atau
brosur dan leaflet juga bisa efektif dalam kegiatan kampanye publik.
b. Survei Opini Publik
Untuk mendukung kampanye publik
dalam rangka pendidikan publik anti-korupsi juga sebaiknya dilakukan survei
opini publik. Survei opini publik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
opini warga masyarakat tentang sikap, pandangan atau pemahaman mereka terkait
isu-isu yang sedang berkembang. Survei opini publik juga menjadi wahana yang
memberi peluang bagi warga masyarakat untuk menumbuhkan bahwa pendapat mereka
dihargai dan dipertambangkan dengan serius oleh orang lain.
Polling atau jejak pendapat
adalah salah satu metode untuk mengetahui pendapat umum. Polling sering didefinisikan
sebagai suatu penelitian atau survei dengan cara menanyakan langsung
(wawancara), atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung (melalui
angket) kepada warga masyarakat mengenai pendapat mereka tentang suatu masalah
atau isu yang sedang berkembang.
Penyebaran angket (kuesioner)
kepada warga masyarakat yang dijadikan sasaran kampanye adalah cara yang lebih
untuk mengetahui opini publi, yang merupakan ekspresi sikap dan pandangan
masyarakat terhadap isu yang diperbincangkan. Poin-poin pertanyaan dalam angket
hendaklah dirancang sedemikian rupa dengan tetap berpedoman pada tujuan
kampanye. Tetapi harus dicatat bahwa poin-poin pertanyaan dalam angket
sebaiknya dirancang secara lebih spesifik untuk tujuan-tujuan khusus,
disesuaikan dengan tema kampanye. Misalnya, untuk mengetahui sejauhmana
efektifitas kampanye mempengaruhi pendengar radio, bagaimana pandangan pembaca
surat kabar lokal tertentu terhadap kampanye anti-korupsi melalui media massa,
dan lain-lain.
c. Pengorganisasian Massa
Peter L. Berger (1982) mengatakan
bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus
mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil
keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai
yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu
setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah
berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah,
melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan
publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu
sendiri.
Langkah awal dalam
pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian
massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan
lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup
orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi metode
(strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
2. Merumuskan desain dan model
pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
3. Merumuskan kerangka kerja
pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis
untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai
berikut:
1. Membentuk dan menciptakan
kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik.
2. Membentuk jaringan kerja sama
antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
3. Mengembangkan kepemimpinan
masyarakat.
4. Bekerja dengan organisasi
masyarakat yang ada.
POST WACANA
Mendidik Masyarakat Melek-Korupsi
Wabah korupsi seperti juga
wabah-wabah lainnya yang berbahaya, pada dasarnya bisa dicegah penyebarannya.
Perlu semacam suntikan imunisasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap korupsi,
sekaligus menurunkan kekebalan koruptor terhadap hukumyang berlaku di negara
ini. Bila tidak ada tindakan semacam itu, bisa dipastikan korupsi akan kian
menyebar dan mengakar. Pada gilirannya korupsi yang tidak terbendung akan
semakin membuat negeri ini terus bertahan di papan atas sebagai negara terkorup
di dunia. Karenanya sudah saatnya dibangunkan kesadaran pada seluruh anak bangsa,
bahwa sebanyak apa pun yang dimiliki bila terus-menerus digerogoti pada
akhirnya akan habis. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini
menunjukkan sudah hampir habisnya kekayaan bangsa karena dicuri dengan mengatas
namakan berbagai hal.
Untuk menekan lajunya angka
korupsi yang terus melonjak diperlukan langkah-langkah strategis dan
komprehensif. Langkah-langkah itu merupakan bentuk kongkrit pendidikan
anti-korupsi bagi masyarakat. Yang dimaksud pendidikan di sini adalah segala
upaya penyadaran dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan di sini lebih bersifat
andragogik daripada pedagogik, di mana masyarakat sasaran didik diperlakukan
sebagai subyek pendidikan yang dibuka kesadaran keritisnya dalam mengahadai
relitas keseharian yang korup. Sementara pendidik adalah sekelompok masyarakat
yang telah tersadarkan yangmenjadi fasilitator dalam proses belajar masyarakat
itu sendiri. Dengan berbagai langkah strategis dan tekhnis di atas, kiranya
pendidikan anti-korupsi dapat mendidik masyarakat untuk “melek-korupsi”.
Selain dengan pendidikan yang
bersifat andragogik, upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan
pendidikan pedagogik, bahkan formal sekalipun. Ini bisa dilakukan di antaranya
dengan cara-cara berikut:
1. Memasukkan diskursus
anti-korupsi dalam pendidikan formal maupun informal.
2. Menggagas Fiqh Korupsi
(pemahaman keagamaan yang anti dan tidak mentolerir korupsi dalam segala
bentuknya)
0 komentar:
Posting Komentar