Rabu, 17 Juli 2013

Membangun Budaya Anti Korupsi dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah



I.              Definisi Budaya Anti Korupsi

 Korupsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan “penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”. Sedangkan dalam undang-undang No. 20 tahun 2001 dapat diambil pengertian bahwa korupsi adalah “Tindakan melanggar hokum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang pembangunan sekolah.
Di madrasah/ sekolah, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dikenalkan, dikembangkan, dibina bahkan dihilangkan. Karena hal itulah, salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi di negeri ini adalah dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan antikorupsi sejak dini di lembaga pendidikan.
Sebagai salah satu jalur pendidikan formal, keberadaan Madrasah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi; meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian yang dijiwai ajaran Islam, dan meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya yang dijiwai ajaran agama Islam.

II.           Pentingnya Budaya Anti Korupsi Bagi Pendidikan

Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29  September tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang mengaggumkan ditengah dahaga akan pemberantasan korupsi bangsa ini.
Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan.
Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini, yaitu :
1.          Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal.
2.          Untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil murid dalam melawan korupsi
3.          Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa.
Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah satu bentuk korupsi, korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat. Materi ini dapat diikutkan dalam pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya.
Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan siswa siswi untuk untuk dapat mencapai tujuan-tujuan dari pendidikan anti korupsi, yaitu dengan :
1.             Memahami informasi
Bahaya korupsi biasanya ditunjukkan menggunakan argument ekonomi, sosial dan politik. Siswa tentunya akan sulit untuk memahami,untuk itu perlu ‘diterjemahkan’ ke dalam bahasa para siswa dengan menunjukkan bagaimana korupsi mengancam kepentingan mereka dan kepentingan keluarga dan temanteman.
2.             Mengingat
Tidak diragukan lagi, dengan proses mengulang, anak akan ingat, namun jika yang sama diulang lebih dari tiga kali, anak akan merasa jenuh dan merasa kehilangan hak untuk membuat pilihan bebas. Jadi tidak ada salahnya mengubah bentuk penyediaan informasi dengan cara yang paling tak terduga dan mengesankan (ada variasi)
3.             Mempersuasi (Membujuk) diri sendiri untuk bersikap kritis
Sikap kritis menjadi sangat kuat bila tidak hanya diberikan, tetapi mengarahkan mereka untuk mengembangkanya dengan penalaran intensif. Efeknya akan lebih kuat jika menggunakan metode pembelajaran aktif.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

III.         Impelementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Manajerial Madrasah

 Pendidikan adalah usaha sadar yang membentuk watak dan prilaku secara sistematis, terencana, dan terarah (Mahfudh,2003:251). Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memasukan nilai-nilai Islam baik dalam kurikulum pembelajarannya maupun dalam etika sehari hari. Untuk itu Madrasah harus bisa menjadi model percontohan dalam menegakkan Amar ma’ruf nahi munkar, khususnya untuk tindak pidana korupsi  pada penyelenggaraan pendidikan.
Islam memerintahkan umatnya agar hanya memakan dan memakai harta yang halal. Halal dan haram tidak hanya ditentukan dari dzatnya saja, melainkan juga bagaimana cara memperolehnya. Korupsi menurut kesepakatan Ulama (ijma) merupakan suatu tindakan yang sangat diharamkan oleh Islam. Maka dari itu sangatlah penting untuk menanamkan budaya anti korupsi di lingkungan madrasah.
Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian mata pelajaran agama. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah
tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1) Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktuaisasi, dan (3) Manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif dalam masyarakat (Tilaar, 2004: 179). Artinya mulai dari Kepala Madrasah hingga tukang sapu madrasah bersama –sama menciptakan budaya anti korupsi di lingkungan madrasah.
Seorang kepala madrasah merupakan penentu kebijakan pada madrasah tempatnya bertugas. Penerapan budaya anti korupsi di madrasah memang sudah seharusnya di laksanakan dan seorang kepala madrasah wajib menjadi motor penggerak dan tauladan bagi segenap civitas akademika madrasah. Peran penting seorang kepala madrasah menjadi tumpuan bagi gerakan anti korupsi di madrasah. Tak hanya sebagai tauladan, seorang kepala madrasah juga beperan sebagai pegendali sistem birokrasi di madrasah. Dituntut ketegasan dan kreatifitas seorang kepala madrasah dalam menjalankan sistem dan kebijakan yang bebas dari korupsi. Hal tersebut bisa di lakukan misalnya dengan melakukan kebijakan reward and punishment, sebagai stimulus bagi seluruh murid, guru (ustadz) dan karyawan di madrasah. Dan untuk mengefektifkan program tersebut dibutuhkan pula sistem pengawasan internal. Sebagai kepala madrasah tentunya dibutuhkan pribadi yang jujur, bersih dan berani serta memiliki komitmen yang kuat  untuk membudayakan anti korupsi  dalam menerapkan kebijakan – kebijakan tersebut di madrasah.
Peran para guru (ustadz) juga tak kalah penting dalam membudayakan anti korupsi di lingkungan madrasah. Karena mereka yang berhubungan langsung dengan para murid, setiap tindakan dan ucapan mereka sangat berpengaruh terhadap tingkah laku serta pribadi murid – murid madrasah. Maka dari itu peran seorang guru (ustadz) selain  dituntut untuk mempropagandakan selogan-selogan anti korupsi kepada murid – murid madrasah, mereka juga harus mengimplementasikan dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar dan dalam setiap prilaku sehari –hari. Dimulai dari hal terkecil seperti kepatuhan terhadap peraturan yang dibuat oleh pihak madrasah, misalnya tepat waktu, kehadiran dan lain sebagainya.
Hal selanjutnya yang juga tak kalah penting adalah birokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Hal yang sering terjadi adalah membudayanya pungutan – pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah, pemberian gratifikasi para wali murid kepada guru atau bahkan kepala sekolah dengan modus  mempermudah segala urusan yang membelit siswa. Disini peran orang tua atau wali murid juga dibutuhkan agar tidak membudayakan kegiatan yang seperti itu. Peran orang tua atau wali murid juga dibutuhkan untuk mengawasi segala bentuk kebijakan madrasah yang merugikan pihak siswa.
Ada satu moment dimana madrasah justru menjadi pelaku tindak ketidak jujuran, yaitu saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pihak sekolah atau madrasah, dengan dalih agar para siswanya dapat lulus seratus persen, melakukan praktik – yang tidak terpuji dan tidak mendidik, dengan cara memberikan jawaban kepada siswa yang melakukan Ujian Nasional (UN). Dalam hal ini madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai – nilai ke Islaman harus menjadi contoh untuk menghindari usaha-usaha yang tercela tersebut dengan meningkatkan kualitas pengajaran agar para siswa bisa mencapai hasil maksimal tanpa melakukan praktik – praktik tak terpuji tersebut, bukan justru ikut –ikutan melakukan hal serupa.
Dalam mewujudkan budaya anti korupsi di madrasah memang butuh dukungan dari semua pihak. Mulai dari Kepala sekolah, Guru (Ustadz), pegawai, siswa dan orang tua atau wali murid, bahkan sampai tukang sapu madrasah sekalipun. Karena bukan hanya membawa citra personal dan madrasah itu sendiri, tapi juga citra Islam.
Sebagai langkah pemberantasan korupsi di negeri ini telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak melakukan penanggulangan korupsi secara represif. Namun terbukti hingga saat ini tindakan represif masih belum memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi. Agar perilaku korupsi tidak semakin meluas, diperlukan tindakan pencegahan (preventif) terhadap potensi untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan budaya anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada lingkungan Madrasah, penanaman budaya anti korupsi dapat dilaksanakan dalam tataran pelaksanaan keadministrasian dan managerial di Madrasah. Disadari ataupun tidak, banyak sekali potensi perilaku korupsi pada tataran managerial Madrasah yang. Beberapa kegiatan yang mungkin dapat dilakukan untuk menanamkan budaya anti korupsi adalah:
  1. Transparansi: a). APBS dibuat secara bersama dengan melibatkan guru, komite Madrasah, orang tua, dan staf TU. b). Pamflet-pamflet serta laporan-laporan yang dibuat secara tertulis oleh Madrasah secara formal. Selama proses penyusunan RPS dan APBS, para guru, perwakilan orang tua, pengurus komite Madrasah dan staf Madrasah selalu dilibatkan secara aktif, meskipun tidak semua guru dan staf dilibatkan secara total.
  2. Partisipasi: para warga Madrasah dan stakeholders lainnya harus berpartisipasi aktif dalam pengelolaan Madrasah dalam berbagai bentuk semisal sumbangsih pemikiran, keterlibatan guru, staf, dan orang tua siswa dalam kegiatan Madrasah. Secara formal penyampaian aspirasi (sebagai salah satu bentuk partisipasi) dilakukan melalui rapat, sedangkan secara informal dilakukan dengan bertatap muka dengan kepala Madrasah ataupun melalui surat.
  3. Akuntabilitas: perlu dimilikinya standar kerja yang jelas dalam bentuk TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi), evaluasi kinerja melalui pemeriksaan dokumen rencana pembelajaran, kunjungan kelas oleh kepala Madrasah, dan konsultasi individu antara guru dan kepala Madrasah.
Implementasi dari transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas akan berjalan dengan baik bila didukung dengan: a). dorongan dari orang tua siswa, b). personil Madrasah telah memiliki kualifikasi yang cukup, d). adanya media komunikasi yang mampu menjadi penyalur berbagai informasi perkembangan Madrasah, masukan serta kritikan dari stakeholder, dan   e). program-program Madrasah mendukung terhadap pengimplementasi-an pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

IV.        Implementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Siswa Didik

Pendidikan merupakan pilar pembangun karakter, dalam rangka menyiapkan generasi baru yang anti korupsi dan membangun budaya anti korupsi adalah melalui implementasi pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan daerah.
Berdasarkan aturan pemerintah antara lain:
  1. TAP MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  5. Instruksi Presiden RI Nomer 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
  6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pasal 13 tentang KPK memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan
Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.

  1. Memasukkan Nilai-nilai Anti Korupsi dalam Pelajaran
Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 3 adalah mengembangkan  potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian pendidikan berhasil jika tujuan dari pendidikan terlaksana. Untuk mencapainya diperlukan kerja sama dari berbagai pihak.
Pendidikan Anti Korupsi mencakup aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Aspek kognitif akan memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman kepada siswa tentang bahaya korupsi, sehingga ia akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya Pemberantasan korupsi. Aspek afeksi akan berkorelasi dengan pembentukan sikap, keasadaran, dan keyakinan bahwa antikorupsi harus dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adapun aspek psikomotorik akan memberikan keterampilan dan perilaku kepada siswa bagaimana mengenali korupsi. Keseluruhan aktivitas pendidikan ini akan memberikan pengalaman kepada siswa akan pentingnya mengembangkan sikap, perilaku, dan kebiasaan yang beorientasi kepada kejujuran.
Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.
Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMA sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
Untuk itu PAK yang akan didesain adalah pendidikan antikorupsi yang memuat keseluruhan komponen di atas namun harus dilaksanakan secara kontekstual, dengan memperhatikan kebutuhan siswa, kegiatan pembelajaran yang ada, kemampuan guru dan sekolah dalam melaksanakan kegiatan PAK. Dari hasil diskusi dengan guru dan kepala sekolah serta konsultasi dengan pakar maka disepakati bahwa implementasi PAK dilaksanakan secara inklusif, artinya PAK akan disisipkan kepada mata pelajaran yang sudah ada dan dilaksanakan baik secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

  • Program Kantin Kejujuran
Untuk mengetahui tingkat kejujuran para siswa dibentuklah kantin kejujuran. Barang-barang yang disediakan juga disesuikan dengan kebutuhan pokok siswa seperti: makanan kecil, buku, alat tulis, aksesoris, buku cerita, buku pelajaran dan lain-lain. Dalam Toko Kejujuran ini diskenariokan self servis artinya tidak ada penjaga yang bertugas melayani pembeli. Siswa yang menginginkan untuk membeli barang yang ada di Toko Kejujuran cukup dengan melihat harga barang yang tertera dalam label kemudian pembeli tinggal menaruh uang di tempat yang telah disediakan. Jika ada uang kembali maka siswa tinggal mengambil pada tempat di mana ia menaruh uang. Jika uang kembalian tidak ada atau tidak cukup maka ia dapat menunggu.
Praktek kantin kejujuran dilaksanakan selama satu bulan dengan memanfaatkan Koperasi Madrasah. Praktek ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur dan mencari data awal tentang tingkat kejujuran di kedua sekolah tersebut.

  • Membudayakan Kerja tanpa Pamrih
Praktek pemberian sesuatu baik dalam bentuk barang maupun uang dapat menjadi kebiasaan yang baik. Namun di sisi lain

  • Penerapan Reward and Punishment secara Tegas
Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan. Motivasi adalah dorongan untuk mencapai tujuan tertentu. Dorongan itu bisa saja berbentuk antusiasme, harapan dan semangat. Salah satu contoh dalam menumbuhkan motivasi, metode reward dan punishment seringkali digunakan oleh para guru atupun orang tua. Reward & punishment merupakan teori psikologi tentang belajar. Reward secara bahasa berarti hadiah dan punishment berarti hukuman. Dalam hal ini teori reward & punishment dapat diaplikasikan dalam mendidik seseorang. Contohnya apabila seorang anak mendapatkan peringkat dikelasnya maka ia akan diberi reward, tapi kalau ia berbuat nakal maka ia akan diberi punishment.. Dengan begitu maka ia akan cenderung berprestasi daripada

  • Kegiatan pengabdian kepada masyarakat
Dalam kegiatan ini dilaksanakan melalui sebuah kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan dengan materi yang disusun secara sistematis dan menggunakan metode permainan monopoli. Untuk menjaga efektifitas kegiatan pengabdian ini, maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan urutan sebagai berikut:
  1. tahap pengenalan dan pemahaman, yaitu tahap dimana para siswa diberikan pemahaman yang tepat mengenai definisi dan aturan hokum tentang korupsi. Secara umum para siswa telah mempunyai kesadaran (awareness) yang tinggi atas kasus korupsi yang mereka peroleh dari beberapa media baik media cetak maupun elektronik. akan tetapi pemahaman mereka masih rendah dalam hal definisi dan aturan hukum mengenai korupsi,
  2. tahap pembentukan sikap, yaitu tahap dimana para siswa diberikan materi pendidikan antikorupsi yang pada dasarnya berisi penanaman nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya mampu mewujudkan generasi yang “bersih” dan “anti korupsi”, dan
  3. tahap penerapan, yakni tahap dimana para siswa yang telah mendapat TOT (Training of Trainer) diharapkan akan memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas korupsi, sehingga terwujud generasi yang bersih, transparan, dan profesional.

0 komentar:

Posting Komentar