Katakan tidak untuk Korupsi

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Cegah Korupsi sejak dini

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Korupsi itu perbuatan dosa

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Ajarkan Mereka tentang Pendidikan Anti Korupsi

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Ingat.....!!! Azap Allah Sangat Dahsyat

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Ingat.....!!! Kasihani mereka yang tak tau apa-apa

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Selamatkan Anak Bangasa...!!!

Sujud simpuh dalam rona kegelapan, tak tertata lagi wujud sang panorama. Diatas luka berbuah nestapa, dimana harus kucari letak pengabdian abadi jika segala melodi lantunkan nada suram di Negeriku Ibu Pertiwi.

Rabu, 17 Juli 2013

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BERBASIS MASYARAKAT

PRAWACANA
Pada akhir dasawarsa 1990-an, salah satu jurnal terkemuka di Amerika, Foreign Affairs, mengatakan bahwa korupsi telah menjadi way of life di Indonesia. Korupsi sudah menjadi cara atau jalan hidup bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. International Transparency, pada tahun 1997, dalam laporannya menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia setelah Rusia dan Kolombia. Audit yang lumayan baru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan bahwa prevalensi kebocoran dari semakin tinggi, meningkat dua belas kali lipat. Pada tahun 1998/1999, tingkat kebocoran hanya 4 persen, akan tetapi pada tahun anggaran 1999/2000 angka itu melonjak menjadi 46 persen. Dari nilai anggaran yang diperiksa BPK sebesar 455,6 trilyun rupiah, tingkat kebocoran mencapai 209 trilyun rupiah.
Selain itu audit BPK juga membuktikan bahwa negara dirugikan senilai 138,44 trilyun rupiah atau sekitar 96 persen dari nilai kredit likuiditas Bank Indonesia (BI) senilai 144,53 trilyun rupiah. Padahal kredit likuiditas ini semula dirancang untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas 48 bank komersial.
Mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo juga pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 1991/1992 jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak senilai 27,7 trilyun rupiah. Pada tahun fiskal 1999/2000 angka itu menjadi 170 trilyun rupiah. Selama dekade 90-an, dari seluruh jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan senilai 714,5 trilyun, artinya negara dirugikan 130, 86 trilyun rupiah.
Tidak hanya itu, akhir-akhir ini diberitakan di berbagai media bahwa, para angota DPRD di banyak kota kabupaten di Indonesia, banyak yang dimeja hijaukan, karena terlibat penyalahgunaan dana APBD (APBD gate).
Dari berbagai pernyataan, laporan, berita dan fakta di atas, semuanya mengindikasikan adanya persoalan yang amat serius di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi bahaya laten korupsi. Sayangnya, meski dari berbagai temuan dan studi terbukti bahwa prevalensi di Indonesia tergolong paling tinggi, akan tetapi langkah-langkah yang mengarah pada upaya investigasi, advokasi dan pemberdayaan serta pendidikan masyarakat dalam memberantas wabah korupsi masih jarang dilakukan.
Sejumlah studi, laporan, ataupun tulisan mengenai tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai perspektif dan sudut pandang. Namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, studi-studi yang selama ini dilakukan oleh kalangan akademis ke arah deskripsi dan analisis semata, bukan pada kritik dan keberpihakan terhadap masyarakat yang dirugikan oleh prilaku korupsi. Kedua, data yang diperlukan sering tidak tersedia, karena pihak yang diduga terlibat korupsi selalu berdalih dengan berbagai cara untuk menyembunyikan dan memanipulasi data. Sementara pemerintah cenderung enggan memberi izin penelitian dan advokasi untuk isu-isu korupsi. Ketiga, sebagai konsekwensinya, upaya-upaya investigasi, advokasi dan pendidikan serta pemberdayaan lebih banyak menggunakan pendekatan normatif, jauh dari pemihakan terhadap rakyat dengan berbagai langkah-langkah strategisnya. Keempat, lebih-lebih pada masa Orde Baru, para peneliti dan aktifis beresiko tinggi kehilangan hak sipil, atau bahkan ancaman kekerasan fisik ketika melakukan studi dan advokasi tentang korupsi. Karena dianggap ancaman bagi pihak-pihak tertentu.
Saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi menuju masyarakat demokratis dan beradab, yang membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun iklim kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih baik dan terbebas dari korupsi. Inilah momen yang tepat untuk mengembangkan kajian, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan budaya KKN. Tulisan ini adalah yang bisa dilakukan penulis dalam upaya pendidikan pemberantasan korupsi di tengah masyarakat. Ini adalah langkah yang mungkin tidak akan berarti dalam pemberantasan korupsi, tetapi paling tidak sebagai wacana yang semoga saja bermanfaat di kemudian hari.

KONSTRUK WACANA KORUPSI
Pada Dataran Budaya
Dalam praktek pelayanan publik sehari-hari, batas antara hadiah atau pemberian yang ikhlas dan suap sangatlah tipis. Ini bisa dilihat manakala warga masyarakat ingin menyelesaikan satu urusan birokrasi dengan instansi pemerintah yang bertugas melayani publik, seakan-akan sudah lumrah bila rasa terimakasih perlu dan celakanya harus disampaikan dalam bentuk uang. Suap atau bentuk terimakasihkah kebesiaan seperti ini? Bukan tidak mungkin, warga masyarakat sengaja memberi uang dengan maksud kelak dikemudian hari bila berurusan dengan birokrasi tidak lagi mengalami kesulitan. Artinya, ia harus ikhlas dan terbiasa melakukan praktek suap. Tetapi celakanya, Sang Birokrat memandangnya sebagai pembrian ikhlas dan tidak tidak terkait dengan jabatannya. Bukankah di sini ada perbedaan presepsi atas pemberian uang itu.
Praktek-praktek seperti ini berlangsung terus dalam hidup keseharian kita dan diterima begitu saja sebagai seseuatu yang tak terbantahkan. Mulai dari praktek percaloan di terminal, pelabuhan atau setasiun kereta api hingga urusan izin usaha, perpanjangan SIM, KTP, atau meluluskan anak masuk sebuah sekolah yang dianggap pavorit, dan lain-lain. Praktek yang bernuansa suap-menyuap tampaknya sudah dianggap wajar dan bahkan ada yang menganggap sebagai keharusan.
Memang, dalam budaya yang memberi peluang bagi tumbuhnya praktek korupsi, wacana korupsi pun dikonstruksi menjadi bukan korupsi, melainkan dianggap sebagai kebaikan hati. Itulah sebabnya ada yang menyebut korupsi sudah “memasyarakat”, bahkan sejad dahulu Bung Hatta telah menyebutnya “membudaya”. Kalau sudah memasyarakat dan membudaya, maka bisa berarti sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan. Tiada hari tanpa praktek korupsi dalam segala bentuk dan tingkatannya. Kalau kemudian Indonesia menjadi negara papan atas dalam korupsi--seperti peringkat yang dilaporkan oleh Transparency International--tidaklah terlalu mengherankan. Tetapi bangsa ini tentu saja tidak akan terima bila negerinya dicap berpemerintahan para maling (kleptokrasi).
Bukan hanya itu, perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia juga banyak mengoleksi ungkapan dan kata untuk menyebut nama lain dari praktek korupsi. Mulai dari uang semir, penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan uang negara, komersialisasi jabatan, poltik uang, suap, uang pelicin, uang administrasi, komisi proyek, dana taktis, TST (tahu sama tahu), manipulasi, pungli, dana bina lingkungan, mark up anggaran, amplop dan uang rokok. Belum lagi idiom-idiom yang menunjukkan terjadinya korupsi, misalnya tarif jalan tol, untuk mereka yang ingin mendapatkan layanan cepat dari birokrasi. Uang lelah, untuk pemberian kepada birokrat tingkat bawah yang membantu mengurus adminitrasi pelayanan publik. Hadiah ala kadarnya dan ucapan terima kasih, untuk pejabat publik yang dipandang berjasa membantu suatu urusan yang sebenarnya memang menjadi tanggungjawabnya. Masih banyak lagi perbendaharaan dan idiom dalam bahasa Indonesia--juga sebenarnya bahasa daerah--yang menunjukkan kuat berakarnya korupsi dalam budaya kita.
Kalau kita mencermati tulisan para ahli, maka korupsi bukan hanya beragam dalam jenis dan sebutan sinonimnya, tetapi juga beragam dalam defenisi asalnya. Secara umum, korupsi sering dipandang sebagai segala macam tindakan yang menyalahgunakan wewenang atau sumber poltik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ada pula di antara penulis yang memperluas cakupan pengertian tersebut, mengingat tindakan dan praktek korupsi, berlangsung juga diberbagai sektor kehidupan. Karena itu, korupsi disebutnya sebagai “tidak hanya meliputi transaksi antara sekyor badan publik (pejabat) dan swasta (perusahan atau anggota masyarakat) tetapi juga antara sektor swasta dan sektor pemerintah.” Definisi ini menunjukan betapa korupsi sudah “memasyarakat”. Seperti wabah yang terus menjalar pada semua sektor kehidupan.
Lebih jauh Gunnar Mydral dengan tegas menyatakan bahwa, mereka yang memungkinkan terjadinya korupsi disebut juga koruptor. Dengan begitu korupsi bukan cuma dilakukan pejabat publik atau petinggi swasta, tetapi rakyat kebanyakan juga memungkinkan terjadinya korupsi. Islam, dalam kitab sucinya, mengatakan dengan tegas bahwa, baik yang menyuap (al-râsyi) dan yang disuap (al-murtâsyi), keduanya bersalah, dan karenanya masuk neraka.

Pada Dataran Birokrasi
Birokrasi memang tidak terlepas dari prosedur. Namun manakala prosedur tidak jelas dan banyak meja yang harus dilewati demi tegaknya prosedur, maka prosedur itu justru memberi peluang bagi terjadinya praktek korupsi. Prosedur birokrasi yang mestinya merupakan pengetahuan publik sengaja disamarkan. Akibatnya publik seperti masuk belantara, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa mengikuti prosedur yang baku.
Bila pun prosedur diketahui publik, maka biasanya tetap tersedia pilihan “jalur biasa” atau “jalur tol”. Jalur tol berarti publik mesti membayar biaya besar. Namun dengan senang hati publik tidak jarang bersedia membayar melebihi tarif itu, dengan dalih “dari pada diperulit”, “dari pada membuang-buang waktu” atau “dari pada tidak diproses”. Publik atau masyarakat mendapatkan kemudahan urusan birokrasi dari jabatan publik. Dan pejabat publik pun diuntungkan karena mendapat sejumlah uang.
Karena saling menguntungkan maka dianggap tidak ada yang dirugikan. Sementara korupsi dikonstruksi sebagai praktek yang merugikan. Kalau tidak ada yang dirugikan mengapa pula disebut korupsi? Ini adalah logika yang menyebabkan kian mewabahnya korupsi. Memang ketika transaksi terjadi antara dua pihak, warga masyarakat dan pejabat publik, tidak ada yang merasa dirugikan. Tetapi jika ditarik lebih jauh pada konteks yang lebih luas, dampaknya sangat menadasar. Sebut saja misalnya, lahirnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy), karena pelaku usaha pasti memperhitungkan dana yang disiapkan untuk dikorup akan dibebankan juga pada konsumen. Akibatnya, nilai jual produk Indonesia menajdi lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa dari negeri lain. Maka terjadilah inefisiensi yang akan menurunkan daya kompetitif produk Indonesia, menurunkan kemampuan perusahaan memberi gaji yang lebih layak bagi karyawannya, dan yang paling membahayakan juga dapat menghancurkan moral bangsa.
Olle Tronquist, profesor masalah politik dan pembangunan pada Univesitas Oslo dalam tulisannya “The Indonesian Lesson” (1999) ia menyebutkan adanya gejala munculnya “hantu” yang disebutnya sebagai “demokrasi kaum penjahat” (budguy democracy). Di mana demokrasi hanya berlangsung secara formal dan bahkan cenderung seremonial. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, yang menjelma menjadi “negara serakah” (grady state), yang menjadi panggung KKN dan mamsung pikiran rakyat.
Reformasi yang bergulir sejak 1998 di antaranya bertujuan mengubah praktek penyelenggaraan pemerintah ke arah yang lebih baik dan berkualitas (good governance). Namun dalam kenyataanya, hingga saat ini reformasi belum banyak membuahkan hasil. Praktek KKN tampak belum lenyap, bahkan makin menjadi-jadi. Otonomi daerah yang idealnya ditujukan untuk memberdayakan pemerintahan daerah dalam memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik, pada prakteknya justru dipakai sebagai alat untuk melanggengkan struktur pemerintahan yang birokratis itu. Selain itu juga, dengan otonomi daerah, KKN dengan segala modus operandinya yang pada masa Orde Baru terpusat di Ibu Kota, kini menyebar ke daerah-daerah. Otonomi daerah yang semangat awalnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rmasyarakat daerah, pada parktenya lebih banyak menguntungkan para penguasa dan wakil rakyat di daerah. Sementara rakyat banyak tetap hidup dalam kesengsaraan.

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BAGI MASYARAKAT
Pentingnya Kontrol dan Partisipasi Publik
Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.
Partisipasi publik sendiri merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.

Pendidikan Anti-Korupsi (PAK)
Upaya mendidik, memberdayakan dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena Warga masyarakay yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat.
Bagaimanakah pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?

a. Kampanye Publik
Salah satu cara untuk melakukan pendidikan anti-korupsi kepada masyarakat adalah kampanye publik secara terencana dan sistematik. Kegiatan kampanye [ubl;ik yang terprogram baik dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesdaran mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap masyarakat dan mengenai perlunya setiap warga melakukan tindakan yang tepat bila mereka dihadapkan pada praktek korupsi.
Defenisi kampanye sendiri bermacam-macam, tergantung pada tujuan umum atau spesifik yang diharapkan, durasi yang dibutuhkan, efek yang diharapkan, unit analisis dan lokus manfaat dari suatu kampanye, serta media komunikasi yang digunakan. Paisley (1981) mencatat bahwa definisi kampanye menekankan baik pada (1) tujuan, maupun (2) proses kampanye.
Menurut Atkin (1981), kampanye informatif biasanya melibatkan seperangkat pesan bersifat promosi yang menarik minat publik dan disebarkan melalui media-media massa. Karenanya kampanye publik mesti menggunakan pesan-pesan yang dirancang sedemikian rupa melalui berbagai saluran komunikasi yang mudah diakses dan cocok dengan target audiens. Pesan kampanye juga harus mengkomunikasikan informasi spesifik, pemahaman, dan perilaku yang bisa diakses dan diterma secara budaya.
Karena itu sebelum menggelar kampanye anti-korupsi, penting juga memantau isu dan debat kebijakan sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Memahami lingkungan politik dan budaya yang memberikan setting dalam agenda publik juga penting untuk memberikan penekanan pada isu yang ditonjolkan dalam agenda kampanye. Para perancang kampanye harus menyadari bahwa kegiatan kampanye yang dilakukan bukan semata-mata untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang korupsi dan bahayanya, melainkan juga mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Bahkan kampanye juga harus diarahkan untuk tujuan-tujuan yang lebih dari sekedar perubahan kognitif, tetapi juga perubahan sikap dan perilaku terhadap korupsi.
Jika kampanye publik anti-korupsi dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain:
1. Tergalangnya opini publik mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif.
2. Tergalang pula tuntunan dan tekanan dari masyarakat mengenai perlunya upaya pemberantasankorupsi dalam birokrasi.
3. Menguatnya partisipasi masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi.
Dan karena kegiatan kampanye publik anti-korupsi ini bersifat informatif, persuasif dan juga edukatif, tentu saja pertimbangan-pertimbangan dalam menetukan media kampanye dan khalayak sasaran yang dituju merupakan sesuatu sangat penting. Karena itulah kegiatan kampanye anti-korupsi sebisa mungkin memanfaatkan segala bentuk media komunikasi yang bisa dengan mudah diakses warga masyarakat. Tidak hanya media massa dalam pengertian konvensiona, seperti koran, majalah, radio atau televisi. Tetapi juga media yang lain, seperti sepanduk, stiker, selebaran atau brosur dan leaflet juga bisa efektif dalam kegiatan kampanye publik.

b. Survei Opini Publik
Untuk mendukung kampanye publik dalam rangka pendidikan publik anti-korupsi juga sebaiknya dilakukan survei opini publik. Survei opini publik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui opini warga masyarakat tentang sikap, pandangan atau pemahaman mereka terkait isu-isu yang sedang berkembang. Survei opini publik juga menjadi wahana yang memberi peluang bagi warga masyarakat untuk menumbuhkan bahwa pendapat mereka dihargai dan dipertambangkan dengan serius oleh orang lain.
Polling atau jejak pendapat adalah salah satu metode untuk mengetahui pendapat umum. Polling sering didefinisikan sebagai suatu penelitian atau survei dengan cara menanyakan langsung (wawancara), atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung (melalui angket) kepada warga masyarakat mengenai pendapat mereka tentang suatu masalah atau isu yang sedang berkembang.
Penyebaran angket (kuesioner) kepada warga masyarakat yang dijadikan sasaran kampanye adalah cara yang lebih untuk mengetahui opini publi, yang merupakan ekspresi sikap dan pandangan masyarakat terhadap isu yang diperbincangkan. Poin-poin pertanyaan dalam angket hendaklah dirancang sedemikian rupa dengan tetap berpedoman pada tujuan kampanye. Tetapi harus dicatat bahwa poin-poin pertanyaan dalam angket sebaiknya dirancang secara lebih spesifik untuk tujuan-tujuan khusus, disesuaikan dengan tema kampanye. Misalnya, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas kampanye mempengaruhi pendengar radio, bagaimana pandangan pembaca surat kabar lokal tertentu terhadap kampanye anti-korupsi melalui media massa, dan lain-lain.

c. Pengorganisasian Massa
Peter L. Berger (1982) mengatakan bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah, melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu sendiri.
Langkah awal dalam pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi metode (strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
2. Merumuskan desain dan model pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
3. Merumuskan kerangka kerja pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai berikut:
1. Membentuk dan menciptakan kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik.
2. Membentuk jaringan kerja sama antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
3. Mengembangkan kepemimpinan masyarakat.
4. Bekerja dengan organisasi masyarakat yang ada.

POST WACANA
Mendidik Masyarakat Melek-Korupsi
Wabah korupsi seperti juga wabah-wabah lainnya yang berbahaya, pada dasarnya bisa dicegah penyebarannya. Perlu semacam suntikan imunisasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap korupsi, sekaligus menurunkan kekebalan koruptor terhadap hukumyang berlaku di negara ini. Bila tidak ada tindakan semacam itu, bisa dipastikan korupsi akan kian menyebar dan mengakar. Pada gilirannya korupsi yang tidak terbendung akan semakin membuat negeri ini terus bertahan di papan atas sebagai negara terkorup di dunia. Karenanya sudah saatnya dibangunkan kesadaran pada seluruh anak bangsa, bahwa sebanyak apa pun yang dimiliki bila terus-menerus digerogoti pada akhirnya akan habis. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini menunjukkan sudah hampir habisnya kekayaan bangsa karena dicuri dengan mengatas namakan berbagai hal.
Untuk menekan lajunya angka korupsi yang terus melonjak diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif. Langkah-langkah itu merupakan bentuk kongkrit pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat. Yang dimaksud pendidikan di sini adalah segala upaya penyadaran dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan di sini lebih bersifat andragogik daripada pedagogik, di mana masyarakat sasaran didik diperlakukan sebagai subyek pendidikan yang dibuka kesadaran keritisnya dalam mengahadai relitas keseharian yang korup. Sementara pendidik adalah sekelompok masyarakat yang telah tersadarkan yangmenjadi fasilitator dalam proses belajar masyarakat itu sendiri. Dengan berbagai langkah strategis dan tekhnis di atas, kiranya pendidikan anti-korupsi dapat mendidik masyarakat untuk “melek-korupsi”.
Selain dengan pendidikan yang bersifat andragogik, upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan pendidikan pedagogik, bahkan formal sekalipun. Ini bisa dilakukan di antaranya dengan cara-cara berikut:
1. Memasukkan diskursus anti-korupsi dalam pendidikan formal maupun informal.

2. Menggagas Fiqh Korupsi (pemahaman keagamaan yang anti dan tidak mentolerir korupsi dalam segala bentuknya)

Pendidikan Anti Korupsi Untuk Pelajar


Pendidikan Anti Korupsi Untuk Pelajar

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sepertinya mengharuskan pemerintah terutama menteri pendidikan untuk memasukan kurikulum anti korupsi kedalam pendidikan di Indonesia yang diharapkan dapat memmbuat peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara Kesatuan dengan bentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam keutuhan negara. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat serta konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi Negara Republik Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus.
Indonesia harus menghindari sistem pemerintahan otoriter yang memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, kelompok belajar, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dipahami, diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, perlu pula ditanamkan kesadaran bela negara, penghargaan terhadap hak azasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, 44 tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, serta sikap dan perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan onghokham menyebutkan bahwa korupsi dada ketikaorang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat system politik modern dikenal
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat Negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya revolusi perancis dan di Negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke 19. sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke 18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri masyarakat suatu system yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Pancasila Sumber Nilai Anti Korupsi
Ketuga komisi pemberantasan korupsi, Antasari Azhar menegaskan Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai anti korupsi. Persoalannya arah idiologi kita sekarang seperti di persimpangan jalan. Nilai-nilai lain yang kita anut menjadikan tindak korupsi merebak kemana-mana. Korupsi itu terjadi ketika ada pertemuan saat dan kesempatan. Akan tetapi, karena nilai-nilai kearifan local semakin ditinggalkan, yang ada nilai-nilai kapitalis, sehingga terdoronglah seseorang untuk bertindak korupsi.
Saatnya pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar filsafat Negara dan menjadi “Prinsip prima” bersama-sama norma agama. Sebagai prinsipa prima, maka nilai-nilai pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pun harus menjadi acuan, dan inilah kunci terwujudnya Indonesia sebagai Negara hukum. Yang kita lihat sekarang peraturan perundang-undangan kita tumpang tindih yang mempengaruhi pada tindak kewenangan antar lembaga. DiDepkumham memang ada direktorat yang mengatur harmonisasi peraturan perundang-undangan. Akan tetapi tetap terjadi tumpang tindih, misalnya empat peraturan perundang-unangan yang tumpang tindih, yakni ada yang member kewenangan kepada gubernur, juga ada kewenangan di soal itu di Dephut, bahkan ada yang lain di kementrian KLH.
Antasari menilai implementasi nilai-nilai sesuai azas pancasila yang semakin menyimpang, hal ini terlihat pada banyak kasus korupsi. Dari 30 detik korupsi, 28 pasal di antarnaya menyangkut perilaku. Sehingga apabila nilai-nilai pancasila sudah dilupakan perilakunya menjadi korup. Persoalannya sekarang bagaimana jika 60% dari 300-an kabupaten di Indonesia berurusan dengan KPK karena problem perilaku menyimpang. Apa tidak berhenti republic ini? Makanya, marilah dalam peringatan hari lahir pancasila kita dapat memotivasi kembali peada jalan nilai yang benar. Intinya, kita perjuangan suatu pemerintahan dengan pelayanan public yang baik, itulah pemerintahan yang bersih (termasuk dari korupsi) dan berwibawa. Dengan begitu, cap kita sebagai salahs atu Negara terkorup, dihilangkan.
Kalau dibandingkan dengan cara tetanggam ternyat apenjara mereka terisi lebih sedikit dari kita di Indonesia. Isi penjara kita lebih banyak dari mereka. Ini bukti tegas memberantas korupsi. Tetapi mengapa masih disebut Negara terkorup disbanding Singapura. Ternyta, itu berkaitan dengan persepsi masyarakat dalam pelayanan public sesuai kuesioner lembaga tranparansi internasional kepada masyarakat. Jadi, pemerintah dengan pejabatnya yang bersih dan berwibawa, adalah pemerintahan dengan pelayanan public yang baik, termasuk dalam hal pelayanan administrasi kependudukan, investasi dan seterusnya. Akhirnya, Antasari Azhar minta semua komponen bangsa, termasuk PPA GMNI, agar bersama-sama memperjuangkan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam pemberantasan korupsi, karena KPK tak mungkin bisa bekerja sendiri.

Korupsi Dan Penghianat Pancasila


Sejak dibangun dan diresmikan Presiden Soeharto, 1 Oktober 1992, Monumen Pancasila Sakti menjadi tempat berlangsungnya upacara peringatan kesaktian Pancasila. Upacara terus dilanjutkan meskipun pemerintah berganti empat kali. Semua pemerintah ingin pancasila tetap dan terus sakti.

Dalam upacara ketiga dimasa pemerintahannya, Presiden Yodhoyono kembali menjadi inspektur upcara. Seperti tiga kali peringatan kesaktian pancasila sebelumnya, presiden tidak melihat-lihat diutama tentang saktinya pancasila dari serangkaian upaya penghinaan oleh orang-orang berideologi komunis. Menurut narasi dalam diorama itu, upaya penghianatan terakhir dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hidayat menyebut, upaya menghidupkan komunisme dan separatism merupakan lawan dari pancasila. Ancaman dari kelompok umat islam ada juga tetapi tidak secara khusus seperti tampak dalam terorisme.
Wakil ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno mengemukakan, ancaman terhadap pancasila sebagai ideology setidaknya dapat dikategorikan menjadi dua yaitu ingin meniadakan pancasila dan ingin mengubah pancasila. Kita tidak bisa menuding namun kita dapat merasakan dan melihat gerak dan tingkah laku mereka yang sejak dahulu menentang pancasila dan UUD 1945.
Menurut Hidayat, pancasila tidak cukup hanya diperingati, diperdebatkan, dan dipolemikan. Diperingati bagus, tetapi peringatan itu harus jadi sarana yang konkret untuk mengamalkan pancasila. Namun apakah korupsi dapat dikategorikan sebagai upaya penghianatan terhadap pancasila, ketua KPK Taufiqurrahman Ruki menjawab, Korupsi adalah perbuatan pelanggaran hukum, sebuah tindak pidana yang bisa terjadi dalam Negara komunis sekalipun. Tidak ada hubungannya dengan pancasila, tetapi pasti itu menghianati Negara. Penghianatan Negara lewat korupsi sudah pasti penghianat terhadap azaz/dasar Negara itu.

Modul Antikorupsi untuk Pelajar


Ketika itu, di Ruang Auditorium KPK.
Puluhan anak-anak TK mewakili sekolah masing-masing, berkumpul di sana. Meski tidak berasal dari satu sekolah, toh suasana tetap riuh dan gembira. Ada apa gerangan? Tentu saja mereka tidak hendak berunjuk rasa. Bocah-bocah lugu tersebut, memang sengaja diundang KPK dalam rangka memperkenalkan dan menanamkan budaya antikorupsi melalui sebuah modul dongeng antikorupsi.

Berbagai aktivitas pun dilakukan. Mulai dari mendengarkan dongeng tentang kejujuran hingga melukis tokoh antikorupsi di kaos. Sesekali mereka menimpali dongeng itu dengan celetukan khas anak-anak. Sesekali pula, terdengar tawa di antara mereka.

Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK, Dedie A. Rachim menyatakan, kegiatan ini merupakan investasi masa depan untuk menciptakan generasi muda antikorupsi di Indonesia. Kegiatan ini, katanya, dilakukan dalam rangka pemenuhan tugas pencegahan KPK, seperti yang tercantum dalam UU No. 30 tahun 2002, yaitu menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.

Melihat pentingnya pembentukan karakter antikorupsi untuk generasi anak-anak, KPK lantas menerbitkan modul antikorupsi dalam bentuk buku dongeng. Metodologi penanaman nilai melalui dongeng ini, tak lepas dari karakter anak-anak yang suka bermain dan menyukai dunia dongeng. Dengan demikian, meski kelihatannya dilakukan sembari bermain, namun imbas positif yang menyertainya tetaplah besar.

Modul Antikorupsi untuk Semua Jenjang Pendidikan

KPK menerbitkan modul antikorupsi untuk siswa tingkat TK, SD, SMP, dan SMU. Pelajaran antikorupsi ini tidak diberikan melalui suatu mata pelajaran tersendiri melainkan dengan cara menyisipkannya melalui beberapa mata pelajaran.

Inti dari materi pendidikan antikorupsi ini adalah penanaman nilai-nilai luhur yang terdiri dari 9 (sembilan) nilai yang disebut dengan 9 Nilai Antikorupsi. Sembilan nilai tersebut  terdiri dari : tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, mandiri, kerja keras, adil, berani, dan peduli.
 


Download modul pendidikan antikorupsi untuk semua jenjang pendidikan:

TKDongeng Peternakan Kakek Tulus
SD / MIKelas 1Kelas 2Kelas 3Kelas 4Kelas 5Kelas 6
SMP / SLTP / MTsKelas 1Kelas 2Kelas 3
SMA / SLTA / MAKelas 1Kelas 2Kelas 3

Membangun Budaya Anti Korupsi dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah



I.              Definisi Budaya Anti Korupsi

 Korupsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan “penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”. Sedangkan dalam undang-undang No. 20 tahun 2001 dapat diambil pengertian bahwa korupsi adalah “Tindakan melanggar hokum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang pembangunan sekolah.
Di madrasah/ sekolah, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dikenalkan, dikembangkan, dibina bahkan dihilangkan. Karena hal itulah, salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi di negeri ini adalah dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan antikorupsi sejak dini di lembaga pendidikan.
Sebagai salah satu jalur pendidikan formal, keberadaan Madrasah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi; meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian yang dijiwai ajaran Islam, dan meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya yang dijiwai ajaran agama Islam.

II.           Pentingnya Budaya Anti Korupsi Bagi Pendidikan

Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29  September tahun 2002 merupakan sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi yang mengaggumkan ditengah dahaga akan pemberantasan korupsi bangsa ini.
Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan.
Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini, yaitu :
1.          Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal.
2.          Untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil murid dalam melawan korupsi
3.          Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa.
Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah satu bentuk korupsi, korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat. Materi ini dapat diikutkan dalam pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya.
Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan siswa siswi untuk untuk dapat mencapai tujuan-tujuan dari pendidikan anti korupsi, yaitu dengan :
1.             Memahami informasi
Bahaya korupsi biasanya ditunjukkan menggunakan argument ekonomi, sosial dan politik. Siswa tentunya akan sulit untuk memahami,untuk itu perlu ‘diterjemahkan’ ke dalam bahasa para siswa dengan menunjukkan bagaimana korupsi mengancam kepentingan mereka dan kepentingan keluarga dan temanteman.
2.             Mengingat
Tidak diragukan lagi, dengan proses mengulang, anak akan ingat, namun jika yang sama diulang lebih dari tiga kali, anak akan merasa jenuh dan merasa kehilangan hak untuk membuat pilihan bebas. Jadi tidak ada salahnya mengubah bentuk penyediaan informasi dengan cara yang paling tak terduga dan mengesankan (ada variasi)
3.             Mempersuasi (Membujuk) diri sendiri untuk bersikap kritis
Sikap kritis menjadi sangat kuat bila tidak hanya diberikan, tetapi mengarahkan mereka untuk mengembangkanya dengan penalaran intensif. Efeknya akan lebih kuat jika menggunakan metode pembelajaran aktif.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

III.         Impelementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Manajerial Madrasah

 Pendidikan adalah usaha sadar yang membentuk watak dan prilaku secara sistematis, terencana, dan terarah (Mahfudh,2003:251). Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memasukan nilai-nilai Islam baik dalam kurikulum pembelajarannya maupun dalam etika sehari hari. Untuk itu Madrasah harus bisa menjadi model percontohan dalam menegakkan Amar ma’ruf nahi munkar, khususnya untuk tindak pidana korupsi  pada penyelenggaraan pendidikan.
Islam memerintahkan umatnya agar hanya memakan dan memakai harta yang halal. Halal dan haram tidak hanya ditentukan dari dzatnya saja, melainkan juga bagaimana cara memperolehnya. Korupsi menurut kesepakatan Ulama (ijma) merupakan suatu tindakan yang sangat diharamkan oleh Islam. Maka dari itu sangatlah penting untuk menanamkan budaya anti korupsi di lingkungan madrasah.
Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian mata pelajaran agama. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah
tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1) Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktuaisasi, dan (3) Manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif dalam masyarakat (Tilaar, 2004: 179). Artinya mulai dari Kepala Madrasah hingga tukang sapu madrasah bersama –sama menciptakan budaya anti korupsi di lingkungan madrasah.
Seorang kepala madrasah merupakan penentu kebijakan pada madrasah tempatnya bertugas. Penerapan budaya anti korupsi di madrasah memang sudah seharusnya di laksanakan dan seorang kepala madrasah wajib menjadi motor penggerak dan tauladan bagi segenap civitas akademika madrasah. Peran penting seorang kepala madrasah menjadi tumpuan bagi gerakan anti korupsi di madrasah. Tak hanya sebagai tauladan, seorang kepala madrasah juga beperan sebagai pegendali sistem birokrasi di madrasah. Dituntut ketegasan dan kreatifitas seorang kepala madrasah dalam menjalankan sistem dan kebijakan yang bebas dari korupsi. Hal tersebut bisa di lakukan misalnya dengan melakukan kebijakan reward and punishment, sebagai stimulus bagi seluruh murid, guru (ustadz) dan karyawan di madrasah. Dan untuk mengefektifkan program tersebut dibutuhkan pula sistem pengawasan internal. Sebagai kepala madrasah tentunya dibutuhkan pribadi yang jujur, bersih dan berani serta memiliki komitmen yang kuat  untuk membudayakan anti korupsi  dalam menerapkan kebijakan – kebijakan tersebut di madrasah.
Peran para guru (ustadz) juga tak kalah penting dalam membudayakan anti korupsi di lingkungan madrasah. Karena mereka yang berhubungan langsung dengan para murid, setiap tindakan dan ucapan mereka sangat berpengaruh terhadap tingkah laku serta pribadi murid – murid madrasah. Maka dari itu peran seorang guru (ustadz) selain  dituntut untuk mempropagandakan selogan-selogan anti korupsi kepada murid – murid madrasah, mereka juga harus mengimplementasikan dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar dan dalam setiap prilaku sehari –hari. Dimulai dari hal terkecil seperti kepatuhan terhadap peraturan yang dibuat oleh pihak madrasah, misalnya tepat waktu, kehadiran dan lain sebagainya.
Hal selanjutnya yang juga tak kalah penting adalah birokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Hal yang sering terjadi adalah membudayanya pungutan – pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah, pemberian gratifikasi para wali murid kepada guru atau bahkan kepala sekolah dengan modus  mempermudah segala urusan yang membelit siswa. Disini peran orang tua atau wali murid juga dibutuhkan agar tidak membudayakan kegiatan yang seperti itu. Peran orang tua atau wali murid juga dibutuhkan untuk mengawasi segala bentuk kebijakan madrasah yang merugikan pihak siswa.
Ada satu moment dimana madrasah justru menjadi pelaku tindak ketidak jujuran, yaitu saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pihak sekolah atau madrasah, dengan dalih agar para siswanya dapat lulus seratus persen, melakukan praktik – yang tidak terpuji dan tidak mendidik, dengan cara memberikan jawaban kepada siswa yang melakukan Ujian Nasional (UN). Dalam hal ini madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai – nilai ke Islaman harus menjadi contoh untuk menghindari usaha-usaha yang tercela tersebut dengan meningkatkan kualitas pengajaran agar para siswa bisa mencapai hasil maksimal tanpa melakukan praktik – praktik tak terpuji tersebut, bukan justru ikut –ikutan melakukan hal serupa.
Dalam mewujudkan budaya anti korupsi di madrasah memang butuh dukungan dari semua pihak. Mulai dari Kepala sekolah, Guru (Ustadz), pegawai, siswa dan orang tua atau wali murid, bahkan sampai tukang sapu madrasah sekalipun. Karena bukan hanya membawa citra personal dan madrasah itu sendiri, tapi juga citra Islam.
Sebagai langkah pemberantasan korupsi di negeri ini telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak melakukan penanggulangan korupsi secara represif. Namun terbukti hingga saat ini tindakan represif masih belum memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi. Agar perilaku korupsi tidak semakin meluas, diperlukan tindakan pencegahan (preventif) terhadap potensi untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan budaya anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada lingkungan Madrasah, penanaman budaya anti korupsi dapat dilaksanakan dalam tataran pelaksanaan keadministrasian dan managerial di Madrasah. Disadari ataupun tidak, banyak sekali potensi perilaku korupsi pada tataran managerial Madrasah yang. Beberapa kegiatan yang mungkin dapat dilakukan untuk menanamkan budaya anti korupsi adalah:
  1. Transparansi: a). APBS dibuat secara bersama dengan melibatkan guru, komite Madrasah, orang tua, dan staf TU. b). Pamflet-pamflet serta laporan-laporan yang dibuat secara tertulis oleh Madrasah secara formal. Selama proses penyusunan RPS dan APBS, para guru, perwakilan orang tua, pengurus komite Madrasah dan staf Madrasah selalu dilibatkan secara aktif, meskipun tidak semua guru dan staf dilibatkan secara total.
  2. Partisipasi: para warga Madrasah dan stakeholders lainnya harus berpartisipasi aktif dalam pengelolaan Madrasah dalam berbagai bentuk semisal sumbangsih pemikiran, keterlibatan guru, staf, dan orang tua siswa dalam kegiatan Madrasah. Secara formal penyampaian aspirasi (sebagai salah satu bentuk partisipasi) dilakukan melalui rapat, sedangkan secara informal dilakukan dengan bertatap muka dengan kepala Madrasah ataupun melalui surat.
  3. Akuntabilitas: perlu dimilikinya standar kerja yang jelas dalam bentuk TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi), evaluasi kinerja melalui pemeriksaan dokumen rencana pembelajaran, kunjungan kelas oleh kepala Madrasah, dan konsultasi individu antara guru dan kepala Madrasah.
Implementasi dari transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas akan berjalan dengan baik bila didukung dengan: a). dorongan dari orang tua siswa, b). personil Madrasah telah memiliki kualifikasi yang cukup, d). adanya media komunikasi yang mampu menjadi penyalur berbagai informasi perkembangan Madrasah, masukan serta kritikan dari stakeholder, dan   e). program-program Madrasah mendukung terhadap pengimplementasi-an pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

IV.        Implementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Siswa Didik

Pendidikan merupakan pilar pembangun karakter, dalam rangka menyiapkan generasi baru yang anti korupsi dan membangun budaya anti korupsi adalah melalui implementasi pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan daerah.
Berdasarkan aturan pemerintah antara lain:
  1. TAP MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  5. Instruksi Presiden RI Nomer 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
  6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pasal 13 tentang KPK memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan
Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.
Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan. Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.

  1. Memasukkan Nilai-nilai Anti Korupsi dalam Pelajaran
Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 3 adalah mengembangkan  potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian pendidikan berhasil jika tujuan dari pendidikan terlaksana. Untuk mencapainya diperlukan kerja sama dari berbagai pihak.
Pendidikan Anti Korupsi mencakup aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Aspek kognitif akan memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman kepada siswa tentang bahaya korupsi, sehingga ia akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya Pemberantasan korupsi. Aspek afeksi akan berkorelasi dengan pembentukan sikap, keasadaran, dan keyakinan bahwa antikorupsi harus dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adapun aspek psikomotorik akan memberikan keterampilan dan perilaku kepada siswa bagaimana mengenali korupsi. Keseluruhan aktivitas pendidikan ini akan memberikan pengalaman kepada siswa akan pentingnya mengembangkan sikap, perilaku, dan kebiasaan yang beorientasi kepada kejujuran.
Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.
Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMA sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
Untuk itu PAK yang akan didesain adalah pendidikan antikorupsi yang memuat keseluruhan komponen di atas namun harus dilaksanakan secara kontekstual, dengan memperhatikan kebutuhan siswa, kegiatan pembelajaran yang ada, kemampuan guru dan sekolah dalam melaksanakan kegiatan PAK. Dari hasil diskusi dengan guru dan kepala sekolah serta konsultasi dengan pakar maka disepakati bahwa implementasi PAK dilaksanakan secara inklusif, artinya PAK akan disisipkan kepada mata pelajaran yang sudah ada dan dilaksanakan baik secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

  • Program Kantin Kejujuran
Untuk mengetahui tingkat kejujuran para siswa dibentuklah kantin kejujuran. Barang-barang yang disediakan juga disesuikan dengan kebutuhan pokok siswa seperti: makanan kecil, buku, alat tulis, aksesoris, buku cerita, buku pelajaran dan lain-lain. Dalam Toko Kejujuran ini diskenariokan self servis artinya tidak ada penjaga yang bertugas melayani pembeli. Siswa yang menginginkan untuk membeli barang yang ada di Toko Kejujuran cukup dengan melihat harga barang yang tertera dalam label kemudian pembeli tinggal menaruh uang di tempat yang telah disediakan. Jika ada uang kembali maka siswa tinggal mengambil pada tempat di mana ia menaruh uang. Jika uang kembalian tidak ada atau tidak cukup maka ia dapat menunggu.
Praktek kantin kejujuran dilaksanakan selama satu bulan dengan memanfaatkan Koperasi Madrasah. Praktek ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur dan mencari data awal tentang tingkat kejujuran di kedua sekolah tersebut.

  • Membudayakan Kerja tanpa Pamrih
Praktek pemberian sesuatu baik dalam bentuk barang maupun uang dapat menjadi kebiasaan yang baik. Namun di sisi lain

  • Penerapan Reward and Punishment secara Tegas
Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan. Motivasi adalah dorongan untuk mencapai tujuan tertentu. Dorongan itu bisa saja berbentuk antusiasme, harapan dan semangat. Salah satu contoh dalam menumbuhkan motivasi, metode reward dan punishment seringkali digunakan oleh para guru atupun orang tua. Reward & punishment merupakan teori psikologi tentang belajar. Reward secara bahasa berarti hadiah dan punishment berarti hukuman. Dalam hal ini teori reward & punishment dapat diaplikasikan dalam mendidik seseorang. Contohnya apabila seorang anak mendapatkan peringkat dikelasnya maka ia akan diberi reward, tapi kalau ia berbuat nakal maka ia akan diberi punishment.. Dengan begitu maka ia akan cenderung berprestasi daripada

  • Kegiatan pengabdian kepada masyarakat
Dalam kegiatan ini dilaksanakan melalui sebuah kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan dengan materi yang disusun secara sistematis dan menggunakan metode permainan monopoli. Untuk menjaga efektifitas kegiatan pengabdian ini, maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan urutan sebagai berikut:
  1. tahap pengenalan dan pemahaman, yaitu tahap dimana para siswa diberikan pemahaman yang tepat mengenai definisi dan aturan hokum tentang korupsi. Secara umum para siswa telah mempunyai kesadaran (awareness) yang tinggi atas kasus korupsi yang mereka peroleh dari beberapa media baik media cetak maupun elektronik. akan tetapi pemahaman mereka masih rendah dalam hal definisi dan aturan hukum mengenai korupsi,
  2. tahap pembentukan sikap, yaitu tahap dimana para siswa diberikan materi pendidikan antikorupsi yang pada dasarnya berisi penanaman nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya mampu mewujudkan generasi yang “bersih” dan “anti korupsi”, dan
  3. tahap penerapan, yakni tahap dimana para siswa yang telah mendapat TOT (Training of Trainer) diharapkan akan memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas korupsi, sehingga terwujud generasi yang bersih, transparan, dan profesional.

Penerapan Pendidikan Anti Korupsi

Penerapan Pendidikan Anti Korupsi

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, citra buruk Indonesia karena korupsi sudah melekat di mata internasional. Tentu saja citra ini menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia. Ini menyebabkan hilangnya rasa kepercayaan pihak lain terhadap bangsa Indonesia. Rasa kepercayaan ini akan berimbas terhadap pelaku bisnis yang akan berinvestasi. Akibatnya para investor lebih memilih negara-negara tetangga yang dipandang lebih memiliki iklim yang baik.

Berbagai cara sudah dicoba oleh pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi. Sebuah lembaga independen (KPK) secara khusus dibentuk oleh pemerintah untuk menangani tindak korupsi. KPK akan melakukan upaya pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi.

Korupsi sering disebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), oleh sebab itu diperlukan juga upaya yang sangat luar biasa untuk menanganinya. Pemberantasan korupsi dilakukan dengan dua upaya yakni penindakan dan pencegahan. Upaya tersebut tidak akan berhasil dengan optimal jika hanya pemerintah saja yang melakukannya, oleh sebab itu dibutuhkan peran serta masyarakat. Mahasiswa adalah generasi pewaris masa depan bangsa dan bagian penting dari masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat terlibat dengan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi.

Hampir di seluruh sendi kehidupan bangsa korupsi telah mewabah. Mahasiswa perlu diberi pembekalan tentang pendidikan anti korupsi, ini adalah salah satu upaya untuk memberantas korupsi.

Pada akhirnya Diten Dikti dan KPK mengeluarkan buku ajar tentang materi dasar mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi. Secara khusus Ditjen Dikti dan KPK menunjuk tim penyusun buku ajar pendidikan anti korupsi yang diwakili oleh beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Rampungnya penyusunan bahan ajar ini kemudian diikuti dengan
pelatihan para dosen yang akan mengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.

Bahan ajar Pendidikan Anti Korupsi ini berisikan delapan bab, diantaranya:

1. Pengertian korupsi

2. Faktor penyebab korupsi

3. Dampak masif korupsi

4. Nilai dan prinsip antikorupsi

5. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

6. Gerakan kerjasama dan instrumental internasional pencegahan korupsi

7. Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan

8. Peran mahasiswa dalam gerakan antikorupsi

Keterlibatan mahasiswa dalam pemberantasan korupsi tidak masuk ke ranah penindakan, upaya penindakan adalah kewenangan institusi penegak hukum. Mahasiswa lebih berperan pada upaya pencegahan korupsi dengan membangun budaya antikorupsi pada masyarakat. Diharapkan mahasiswa mampu menjadi agen perubahan dan penggerak gerakan anti korupsi. Oleh sebab itu, mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang baik tentang upaya pemberantasan dan seluk beluk korupsi. Yang paling penting mahasiswa juga harus menjadi contoh dengan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-harinya.

Sebagai penutup, KPK memberikan apresiasi dan ucapan terimakasih kepada Pimpinan perguruan tinggi yang telah menugaskan dosen-dosen terbaiknya untuk terlibat dalam penyusunan Buku Ajar Pendidikan Antikorupsi, diantaranya Universitas Syiahkuala, Universitas Iskandarmuda, Institut Teknologi Bandung, Universitas Paramadina, Universitas Indonesia, Universitas Abulyatama Banda Aceh.